Kalender atau yang biasa disebut almanak merupakan salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat. Bisa dibayangkan betapa sulitnya kita menentukan janji pertemuan, membuat program kerja suatu organisasi bahkan aktivitas kenegaraan tanpa adanya ketentuan kalender yang baku.
Begitupun bagi umat Islam, kehadiran kalender Hijriyah begitu sangat diperlukan buntuk menentukan waktu-waktu pelaksanaan ibadah seperti puasa Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha juga ibadah Haji.
Namun realita berkata lain, hingga saat ini, negeri ini masih memiliki beragam kalender hijriyah yang berbeda, baik beda kriteria, metode penentuan tanggal hingga penetapan awal dan akhir bulan Qomariyahnya, sebut saja Almanak PBNU oleh Ormas Nahdatul Ulama, Taqwim Standar Indonesia (Kementerian Agama RI) oleh Pemerintah, Kalender Muhammadiyah oleh Ormas Muhammadiyah Almanak Menara Kudus, dan sebagainya.
Dari bedanya ragam dan bentuk kalender tersebut, masih saja ada ego dari tiap-tiap golongan maupun ormas untuk tetap berpegang teguh dengan ketetapan dan keyakinan yang mereka yakini. Sehingga, perbedaan penentuan awal Ramadan dan Syawal, Dzulhijjah masih saja terjadi. Diakui atau tidak, perbedaan tersebut juga bisa memicu konflik dan kesenjangan antar ormas dan masyarakat.
Hemat Saya, tahun ini harus menjadi babak baru penyatuan kalender Hijriyah di negeri ini, dalam artian ada beberapa bulan kedepan untuk menyiapkan konsep matang dan menyamakan persepsi hingga bergerak ke arah perubahan. Meminjam pendapat Imam Yahya, dalam tulisanya, “Unifikasi kalender hijriyah di indonesia (menggagas kalender madzhab negara” dikatakan bahwa upaya Unifikasi kalender hijriyah di negeri ini sedikitnya membutuhkan tiga syarat: pertama, ada otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender, kedua, ada batas wilayah yang jelas, dan ketiga, ada kriteria yang disepakati.
Untuk otoritas tunggal, mestinya umat Islam sudah mensepakati Kepala Negara dalam hal ini yang berkompeten adalah Menteri Agama sebagai pemegang otoritas tunggal. Kaidah fiqh menyatakan bahwa hukmul hakim ilzamun wa yarfau khilaf, hukum penguasa bersifat tetap dan menyelesaikan berbagai sengketa. Dalam artian, apabila dalam suatu kasus penentuan hukum (penetapan kalender hijriyah) , hakim menetapkan hukum atau keputusan yang dianggap lebih baik dan maslahat , maka pihak-pihak lain tidak boleh mengingkari keputusan hakim tersebut.
Kedua adalah adanya batas wilayah yang jelas. Konsep wilayatul hukmi (menganggap NKRI sebagai satu wilayah hukum) diterima oleh semua ormas Islam pelaksana hisab rukyat di Indonesia. Dalam artian, pembatasan wilayah pemberlakuan kalender hijriyah juga semua langkah dan proses untuk menetapkan hal tersebut, baik hisab maupun ru’yah. Dan untuk Indonesia, batasan wilayah cakupan memanjang dari Sabang hingga Merauke.
Dan ketiga, kesepakatan terhadap kriteria bersama, yaitu dalam penentuan awal dan akhir bulan Qomariyah. Harus ada kesepakatan antar ormas-ormas Islam tentang kriteria “2-3-8”, yaitu ketinggian hilal (bulan baru) minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan 8 jam sejak Ijtima’. (Ahmad Izzuddin : 2007).
Akhirnya, tiap ormas dan golongan hendaknya mau duduk bersama dan mendisukusikan langkah-langkah hingga hal terbaik dalam upaya penyatuan kalender hijriyah di negeri ini. Dengan kata lain, bagaimana menemukan sebuah konsep dan ketetapan baku yang bisa menjembatani seluruh kepentingan dan kebutuhan bersama, dengan tidak mengedepankan ego kelompok golongan masing masing. Semua ini tiada lain demi menghindari perpecahan antar golongan dan kemaslahatan di masyarakat. Harapanya penyatuan kalender hijriyah Indonesia bisa-bisa benar terwujudkan. Dan di tahun inilah realisasi semua harapan tersebut.
Begitupun bagi umat Islam, kehadiran kalender Hijriyah begitu sangat diperlukan buntuk menentukan waktu-waktu pelaksanaan ibadah seperti puasa Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha juga ibadah Haji.
Namun realita berkata lain, hingga saat ini, negeri ini masih memiliki beragam kalender hijriyah yang berbeda, baik beda kriteria, metode penentuan tanggal hingga penetapan awal dan akhir bulan Qomariyahnya, sebut saja Almanak PBNU oleh Ormas Nahdatul Ulama, Taqwim Standar Indonesia (Kementerian Agama RI) oleh Pemerintah, Kalender Muhammadiyah oleh Ormas Muhammadiyah Almanak Menara Kudus, dan sebagainya.
Dari bedanya ragam dan bentuk kalender tersebut, masih saja ada ego dari tiap-tiap golongan maupun ormas untuk tetap berpegang teguh dengan ketetapan dan keyakinan yang mereka yakini. Sehingga, perbedaan penentuan awal Ramadan dan Syawal, Dzulhijjah masih saja terjadi. Diakui atau tidak, perbedaan tersebut juga bisa memicu konflik dan kesenjangan antar ormas dan masyarakat.
Hemat Saya, tahun ini harus menjadi babak baru penyatuan kalender Hijriyah di negeri ini, dalam artian ada beberapa bulan kedepan untuk menyiapkan konsep matang dan menyamakan persepsi hingga bergerak ke arah perubahan. Meminjam pendapat Imam Yahya, dalam tulisanya, “Unifikasi kalender hijriyah di indonesia (menggagas kalender madzhab negara” dikatakan bahwa upaya Unifikasi kalender hijriyah di negeri ini sedikitnya membutuhkan tiga syarat: pertama, ada otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender, kedua, ada batas wilayah yang jelas, dan ketiga, ada kriteria yang disepakati.
Untuk otoritas tunggal, mestinya umat Islam sudah mensepakati Kepala Negara dalam hal ini yang berkompeten adalah Menteri Agama sebagai pemegang otoritas tunggal. Kaidah fiqh menyatakan bahwa hukmul hakim ilzamun wa yarfau khilaf, hukum penguasa bersifat tetap dan menyelesaikan berbagai sengketa. Dalam artian, apabila dalam suatu kasus penentuan hukum (penetapan kalender hijriyah) , hakim menetapkan hukum atau keputusan yang dianggap lebih baik dan maslahat , maka pihak-pihak lain tidak boleh mengingkari keputusan hakim tersebut.
Kedua adalah adanya batas wilayah yang jelas. Konsep wilayatul hukmi (menganggap NKRI sebagai satu wilayah hukum) diterima oleh semua ormas Islam pelaksana hisab rukyat di Indonesia. Dalam artian, pembatasan wilayah pemberlakuan kalender hijriyah juga semua langkah dan proses untuk menetapkan hal tersebut, baik hisab maupun ru’yah. Dan untuk Indonesia, batasan wilayah cakupan memanjang dari Sabang hingga Merauke.
Dan ketiga, kesepakatan terhadap kriteria bersama, yaitu dalam penentuan awal dan akhir bulan Qomariyah. Harus ada kesepakatan antar ormas-ormas Islam tentang kriteria “2-3-8”, yaitu ketinggian hilal (bulan baru) minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan 8 jam sejak Ijtima’. (Ahmad Izzuddin : 2007).
Akhirnya, tiap ormas dan golongan hendaknya mau duduk bersama dan mendisukusikan langkah-langkah hingga hal terbaik dalam upaya penyatuan kalender hijriyah di negeri ini. Dengan kata lain, bagaimana menemukan sebuah konsep dan ketetapan baku yang bisa menjembatani seluruh kepentingan dan kebutuhan bersama, dengan tidak mengedepankan ego kelompok golongan masing masing. Semua ini tiada lain demi menghindari perpecahan antar golongan dan kemaslahatan di masyarakat. Harapanya penyatuan kalender hijriyah Indonesia bisa-bisa benar terwujudkan. Dan di tahun inilah realisasi semua harapan tersebut.